Senin, 26 Oktober 2009

Download Buku Digital Jurusan Akuntansi

Teman2 semua, nih gw kasih buku digital buat loe2 yang berada dibawah naungan jurusa akuntansi... sepsial buat temen2 gw di akt-06 uncen... silahkan sedooooooottt...
klik ini :
Audit Sektor Publik
Dasar-dasar Keuangan Publik
Administrasi Pajak
Akuntansi Pemerintahan (Sektor Publik)
Akuntansi dan Keuangan Publik (Teori dan Aplikasi)
Pajak Internasional

jgn lupa komen...
Read more

Minggu, 25 Oktober 2009

LAPORAN KEUANGAN


1. Laporan Realisasi Anggaran

a.Struktur APBD

Laporan Realisasi Anggaran menyajikan perbandingan antara realisasi terhadap anggarannya selama suatu periode tertentu. Sejalan dengan konsep budgetary accounting, seharusnya struktur APBD, anggaran dan realisasinya sama. Namun ternyata tidak demikian yang terjadi di pemerintah daerah.
Struktur APBD terdiri dari Anggaran Pendapatan, Anggaran Belanja, dan Anggaran Pembiayaan. Perbedaan terjadi dalam struktur anggaran pendapatan dan belanja. Pendapatan berdasarkan Kepmendagri 29/2002 dikelompokkan menjadi Pedapatan Asli daerah, Dana Perimbangan, dan lain-lain Pendapatan yang Sah, sedangkan SAP mengelompokkannya menjadi Pedapatan Asli daerah,




Transfer, dan lain-lain Pendapatan yang Sah. SAP mengatur penyajian belanja pada lembar muka Laporan Realisasi Anggaran berdasarkan karakter belanja dan jenis belanja, sedangkan Kepmendagri 29/2002 mengklasifikasikan belanja ke dalam Belanja Aparatur dan Belanja Publik. Selanjutnya baik pada Belanja Aparatur maupun Belanja Publik, belanja diklasifikasikan menjadi Belanja Administrasi Umum, Belanja Operasi dan Pemeliharaan, dan Belanja Modal.

b.Klasifikasi Pendapatan

Keuangan negara pada umumnya membagi pendapatan menjadi dua, yaitu pendapatan pajak dan pendapatan bukan pajak. Namun SAP untuk pemerintah daerah di Indonesia mengklasifikasikan pendapatan berdasarkan sumbernya, yaitu Pendapatan Asli Daerah, Pendapatan Transfer, dan Lain-lain Pendapatan yang Sah. Sedangkan Kepmendagri 29/2002 mengatur klasifikasi pendapatan menjadi tiga, yaitu Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Yang Sah.
Dengan adanya perbedaan tersebut maka perlu adanya reklasifikasi pendapatan. Bagi Pemda yang menerima Pendapatan Bagi Hasil dari Pusat/Provinsi serta Dana dari APBN selain Dana Perimbangan, misalnya Dana Otonomi Khusus dan Dana Kontinjensi/Dana Penyesuaian/Dana Adhoc, yang berdasarkan Kepmendagri 29/2002 diklasifikasikan dalam Lain-lain pendapatan yang sah, perlu direklasifikasi dari Lain-lain Pendapatan yang Sah ke kelompok Pendapatan Transfer.
Ilustrasi Skema Konversi Pendapatan secara garis besar seperti tercantum dalam skema I.

c. Klasifikasi Belanja

Kelompok dan jenis belanja berdasarkan Kepmendagri 29/2002 berbeda dengan SAP. Apabila dilakukan konversi belanja dari Kepmendagri 29/2002 ke SAP sebagaimana diuraikan di atas dapat digambarkan dalam skema II dan III.


1) Klasifikasi Berdasarkan Jenis Belanja

Belanja dibedakan menjadi dua, yaitu Belanja Operasi dan Belanja Modal. Belanja Operasi merupakan belanja yang memberikan manfaat atau akan terpakai habis dalam menjalankan kegiatan operasional pemerintahan selama tahun berjalan. Sedangkan Belanja Modal adalah belanja yang memberikan manfaat lebih dari 1 tahun dan nilainya material. Penentuan tingkat materialitas belanja perlu dituangkan dalam Peraturan Kepala Daerah.
(a) Belanja Operasi
Kepmendagri 29/2002 mengelompok-kan Belanja Operasi menjadi dua yaitu Belanja Administrasi Umum dan Belanja Operasi dan Pemeliharaan. Setiap kelompok belanja tersebut terdiri dari Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Jasa, Belanja Perjalanan Dinas, dan Belanja Pemeliharaan sebagaimana diilustrasikan pada skema IV. Setiap jenis belanja dari dua kelompok tersebut selanjutnya digabung untuk disajikan dalam Belanja Operasi menurut SAP.
Belanja pegawai pada dasarnya mencakup seluruh imbalan yang diberikan kepada pegawai pemerintah dan anggota DPRD, seperti gaji, tunjangan, dan kompensasi sosial.
Belanja Barang mencakup belanja barang dan jasa, belanja perjalanan, dan belanja pemeliharaan. Ketiga jenis belanja tersebut di dalam Kepmendagri 29/2002 berdiri sendiri sedangkan berdasarkan SAP, ketiga jenis belanja tersebut dimasukkan dalam satu akun, yaitu Belanja Barang. Rincian dari setiap jenis belanja barang dapat disajikan pada Catatan atas Laporan Keuangan.
Belanja untuk membayar bunga dalam Kepmendagri 29/2002 masuk dalam kelompok Belanja Administrasi Umum pada akun Belanja Barang dan Jasa. Sementara itu, menurut SAP, biaya bunga disajikan dalam satu akun Belanja Bunga. Bagi pemerintah daerah yang menyajikan belanja Bunga sesuai dengan Kepmendagri 29/2002 harus mengeluarkan belanja Bunga dari Belanja Barang dan Jasa untuk disajikan secara terpisah dalam akun Bunga.
Ilustrasi pengelompokan belanja administrasi umum dan belanja operasi dan pemeliharaan sesuai dengan Kepmendagri 29/2002 ke belanja operasi sesuai SAP dapat dilihat dalam Skema IV.

2) Klasifikasi Berdasarkan Organisasi

Klasifikasi berdasarkan organisasi artinya anggaran diklasifikasikan menurut pengguna anggaran (satuan kerja perangkat daerah). Baik Kepmendagri 29/2002 maupun SAP mengatur hal yang sama. Klasifikasi demikian diperlukan dalam rangka membangun responsibility accounting. Setiap Kepala satuan kerja perangkat daerah adalah penanggung jawab pelaksanaan program, baik dari aspek regulasi maupun operasi. Oleh karena itu laporan keuangan unit kerja yang ada di bawah satuan kerja perangkat daerah digabungkan dengan laporan keuangan satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan. Klasifikasi berdasarkan organisasi disajikan dalam Catatan atas Laporan Keuangan.

3) Klasifikasi Bedasarkan Fungsi

Terdapat 10 fungsi keuangan negara yang diatur dalam SAP, yaitu:
1. Pelayanan Umum
2. Ketertiban dan Keamanan
3. Ekonomi
4. Lingkungan Hidup
5. Perumahan dan Permukiman
6. Kesehatan
7. Pariwisata dan Budaya
8. Agama
9. Pendidikan
10. Perlindungan Sosial
Fungsi pemerintahan ini seharusnya dirinci lebih lanjut menjadi Sub Fungsi dan Sub-sub fungsi sesuai dengan Code of Function of Government (COFOG). Di Pemerintah Pusat, rincian baru sampai Sub Fungsi sebagaimana diatur dalam PP No. 21/2004 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga. Di Pemerintah Daerah, sampai saat ini belum ada ketentuan lebih lanjut tentang rincian fungsi pemerintahan. Dengan belum adanya ketentuan lebih lanjut tantang Sub Fungsi dan Sub-sub Fungsi untuk Keuangan Daerah maka untuk pelaporan keuangan pemerintah daerah tahun 2005 dapat dirinci sampai level fungsi.
Klasifikasi belanja menurut urusan pemerintahan disesuaikan dengan kewenangan pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota; yang meliputi klasifikasi belanja menurut belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan.
Klasifikasi belanja menurut urusan wajib mencakup:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. pekerjaan umum;
d. perumahan rakyat;
e. penataan ruang;
f. perencanaan pembangunan;
g. perhubungan;
h. lingkungan hidup;
i. pertanahan;
j. kependudukan dan catatan sipil;
k. pemberdayaan perempuan;
l. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
m. sosial;
n. tenaga kerja dan transmigrasi;
o. koperasi dan usaha kecil dan menengah;
p. penanaman modal;
q. kebudayaan dan pariwisata;
r. pemuda dan olah raga;
s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
t. pemerintahan umum dan kepegawaian;
u. pemberdayaan masyarakat dan desa;
v. statistik;
w. arsip;
x. komunikasi dan informatika;
Klasifikasi belanja menurut urusan pilihan mencakup:
a. pertanian;
b. kehutanan;
c. energi dan sumber daya mineral;
d. kelautan dan perikanan;
e. perdagangan; dan
f. perindustrian
Berdasarkan Government Finance Statistics, urusan (affair) pemerintahan ditempatkan pada level Sub-fungsi. Dengan demikian maka fungsi dan urusan pemerintahan dapat dipetakan hubungannya. Dalam rangka menyiapkan klasifikasi belanja berdasarkan fungsi pengelolaan keuangan negara maupun menurut urusan pemerintahan ini dapat dilakukan pemetaan dari program/kegiatan ke fungsi.
Contoh:
1. Program Pemberantasan Buta Huruf masuk fungsi Pendidikan
2. Program Imunisasi untuk Balita masuk fungsi Kesehatan
3. Program Pengembangan Perumahan Sederhana masuk fungsi Perumahan dan Permukiman
4. Program Optimalisasi PAD masuk fungsi Pelayanan Umum
5. Program Pengembangan Tanaman Pangan masuk fungsi Ekonomi
4) Klasifikasi Pembiayaan
Klasifikasi pembiayaan antara Kepmendagri 29/2002 dengan SAP adalah sama, dengan demikian tidak perlu ada proses konversi.


2. Neraca

a. Struktur Neraca

Struktur neraca bedasarkan Kep-mendagri 29/2002 dan SAP pada dasarnya adalah sama. Keduanya menggunakan klasifikasi lancar-nonlancar. Sedikit perbedaan terjadi dalam penggunaan istilah dan klasifikasi ekuitas.

b. Pos-pos Aset

Aset merupakan sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial masa depan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dengan satuan uang, termasuk sumber daya nonkeuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya. Aset diklasifikasikan menjadi Aset Lancar, Investasi jangka Panjang, Aset tetap, Dana cadangan, dan Aset lainnya.

1) Aset Lancar

Yang dimaksud dengan aset lancar dalam SAP dan aktiva lancar dalam Kepmendagri 29/2002 adalah sama. Aset lancar antara lain berupa kas, investasi jangka pendek, piutang, dan persediaan. Perbedaan terjadi di akun Belanja Dibayar Di muka. Belanja Dibayar Di muka berdasarkan SAP merupakan uang yang dibayarkan kepada pihak ketiga, di mana sampai tanggal neraca belum diterima prestasi kerja, yang berupa barang/jasa dari pihak ketiga yang bersangkutan. Di dalam Kepmendagri 29/2002 dalam Biaya Dibayar Di muka termasuk uang untuk dipertanggungjawabkan yang berada di tangan para pemegang kas/Bendahara Pengeluaran.
Sehubungan dengan adanya perbedaan tersebut maka perlu ada penyesuaian. Uang kas yang berada di tangan Pemegang Kas/Bendahara Pengeluaran merupakan saldo kas. Oleh karena itu jumlah ini dikeluarkan dari Belanja Dibayar Di muka dan disajikan dalam pos Kas di Bendahara Pengeluaran/Pemegang Kas dalam kelompok Aset Lancar.
Skema Mapping Pos Aset Lancar dapat dilihat pada Skema VI.

2) Investasi Jangka Panjang

Investasi Jangka Panjang menurut Kepmendagri No. 29/2002 diklasifikasikan menjadi investasi dalam saham dan investasi dalam obligasi, sementara investasi jangka panjang menurut SAP dibedakan menjadi investasi nonpermanen dan permanen, dengan demikian konversi dilakukan pada level rekening, sebagaimana tampak pada Skema VII.

Perbedaan lainnya adalah dalam hal penilaian. Berdasarkan Kepmendagri 29/2002, Investasi Jangka Panjang di neraca dinilai berdasarkan harga perolehan, sedangkan berdasarkan SAP terdapat aturan penilaian yang berbeda untuk setiap jenis investasi.
Berdasarkan SAP, terdapat 3 metode penilaian investasi jangka panjang, yaitu metode biaya, metode ekuitas, dan metode nilai bersih yang dapat direalisasikan. Ketentuan pemberlakuan ketiga metode penilaian investasi jangka panjang adalah:
· Kepemilikan saham kurang dari 20% menggunakan metode biaya;
· Kepemilikan saham lebih besar atau sama dengan 20% sampai 50% atau kurang dari 20% tetapi memiliki pengaruh yang signifikan menggunakan metode ekuitas;
· Kepemilikan saham lebih dari 50% menggunakan metode ekuitas; dan
· kepemilikan non permanen menggunakan metode nilai bersih yang direalisasikan.
Dengan demikian terdapat selisih nilai yang terjadi karena penggunaan metode penilaian yang berbeda antara SAP dan Kepmendagri 29/2002. Dengan demikian nilai investasi jangka panjang, khususnya kepemilikan saham diatas 20% oleh Pemda harus dihitung kembali nilai investasinya berdasarkan laporan keuangan BUMD yang bersangkutan. Investasi nonpermanen dinilai berdasarkan nilai yang diharapkan dapat diterima.
Sebagai contoh:
Pemda mempunyai saham pada Bank Pembangunan Daerah sebanyak 40%. Harga perolehan investasi tersebut Rp 20 milyar. Jumlah laba ditahan pada laporan keuangan tahun 2005 sejumlah Rp 5 milyar. Jadi nilai penyertaan modal pemda per 31 Desember 2005 menjadi Rp 20 milyar + (40% x 5 milyar) = Rp 22 milyar. Sebaliknya kalau Pemda hanya memiliki investasi sebesar Rp 5 milyar atau sebesar 5 % dari saham perusahaan, maka Pemda tersebut akan tetap menyajikan Investasi Jangka Panjang sebesar Rp 5 milyar, tidak dipengaruhi adanya laba/rugi perusahaan tersebut.
Dari contoh pertama, kalau Pemda mengikuti Kepmendagri 29/2002 akan menyajikan Investasi jangka panjang di neraca sejumlah Rp 20 milyar, tetapi berdasarkan SAP seharusnya disajikan di neraca sejumlah Rp 22 milyar. Sebaliknya untuk contoh kedua, Pemda tetap menyajikan Investasi Jangka Panjang sebesar Rp 5 milyar. Oleh karena itu pada saat melakukan konversi, Pemda harus berhati-hati, tidak hanya memperhatikan susunan akunnya tetapi juga metode penilaiannya.

3) Aset Tetap

Pengaturan aset tetap berdasarkan SAP dan Kepmendagri 29/2002 pada dasarnya adalah sama. Terdapat sedikit perbedaan pada rincian aset tetap. Rincian aset tetap di neraca sejalan dengan rincian belanja modal di Laporan Realisasi Anggaran. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kontrol hubungan antar akun. Klasifikasi aset tetap di neraca berdasarkan Kepmendagri 29/2002 lebih rinci dibandingkan ketentuan SAP. Oleh karena itu untuk keperluan penyajian di neraca, pos-pos aset tetap dapat dikonversi ke dalam struktur aset tetap menurut SAP.
Struktur aset tetap menurut SAP adalah:
  • Tanah
  • Gedung dan Bangunan
  • Peralatan dan Mesin
  • Jalan, Irigasi dan Jaringan
  • Aset Tetap Lainnya
  • Konstruksi dalam Pengerjaan
Konstruksi dalam Pengerjaan dalam Kepmendagri 29/2002 disajikan dalam kelompok Aset Lain-lain, sedangkan berdasarkan SAP, Konstruksi dalam Pengerjaan masuk dalam kelompok Aset Tetap. Oleh karena itu jumlah ini perlu direklasifikasi dari Aset Lain-lain ke Aset Tetap.
Penilaian aset tetap menggunakan harga perolehan. SAP juga mengatur depresiasi aset tetap selain tanah dan konstruksi dalam pengerjaan. Hal ini dilakukan untuk mengakui adanya penurunan nilai aset karena pemakaian, keausan, atau kerusakan. Oleh karena itu jika Pemda belum mampu melakukan depresiasi terhadap aset tetapnya, perlu menuangkannya dalam kebijakan akuntansi dan mengungkapkannya dalam Catatan atas Laporan Keuangan.
Skema Mapping Pos Aset Tetap dapat dilihat pada skema VIII.

4) Dana Cadangan

Pengaturan Dana Cadangan dalam SAP sama dengan dalam Kepmendagri 29/2002. Dana Cadangan di neraca disajikan sebesar akumulasi nilai dana cadangan.

5) Aset Lainnya

Aset Lainnya mencakup seluruh aset yang tidak dapat dikelompokkan pada kelompok aset yang telah diuraikan terdahulu. Sebagaimana telah diuraikan pada bagian Aset Tetap, Konstruksi dalam Pengerjaan dipindahkan dari Aset Lain-lain ke kelompok Aset Tetap. Di samping sebagaimana diuraikan dalam Kepmendagri 29/2002, jika Pemda memiliki aset tak berwujud juga disajikan dalam kelompok aset lainnya sebesar harga perolehannya.

6) Pos-pos Kewajiban

Pengaturan kewajiban atau utang antara SAP dan Kepmendagri adalah sama. Kewajiban diklasifikasikan menjadi Kewajiban Jangka Pendek (lancar) dan Kewajiban Jangka Panjang (nonlancar). Penilaian utang dengan menggunakan nilai nominal yang harus dibayar pada tanggal jatuh tempo. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa utang yang disajikan tidak hanya utang yang berasal atau timbul dari pinjaman tetapi juga utang-utang lain, seperti utang biaya dan utang Perhitungan Fihak Ketiga (PFK). Penyajian utang PFK dapat diperoleh dari pencatatan penerimaan dan pengeluaran Urusan Kas dan Perhitungan (UKP).
Skema Mapping Pos Kewajiban dapat dilihat pada Skema IX berikut:

7) Pos-pos Ekuitas

Pendekatan yang digunakan untuk pengelompokan ekuitas dalam Kepmendagri 29/2002 tidak sama dengan pendekatan yang digunakan dalam SAP. Oleh karena itu untuk penyusunan neraca, pos-pos ekuitas tidak dapat dikonversi ke dalam format SAP.
Pendekatan yang digunakan untuk menyajikan pos-pos ekuitas ke dalam format neraca berdasarkan SAP, dilakukan dengan pendekatan self balancing group of accounts, dimana:
(a) Ekuitas Dana Lancar
Ekuitas dana lancar sama dengan aset lancar dikurangi kewajiban jangka pendek. Oleh karena itu Ekuitas dana lancar mencakup:
· SILPA (sebagai pasangan Kas di Kas Daerah, Kas di Bendahara Pengeluaran, dan Investasi jangka pendek)
· Pendapatan yang ditangguhkan (sebagai pasangan Kas di Bendahara Penerimaan)
· Cadangan Piutang (sebagai pasangan Piutang)
· Cadangan Persediaan (sebagai pasangan Persediaan)
Dikurangi dengan:
· jumlah Dana yang Harus Disediakan untuk Pembayaran Utang Jangka Pendek (sebagai pasangan utang jangka pendek)
(b) Ekuitas Dana Investasi
Ekuitas Dana Investasi mencerminkan kekayaan bersih pemerintah daerah yang tertanam dalam kekayaan berjangka panjang. Penyajian Ekuitas Dana Investasi di neraca dapat diperoleh dengan menjumlahkan:
· Investasi Jangka Panjang
· Aset Tetap
· Aset Lainnya
Dikurangi:
· Jumlah Dana yang Harus Disediakan untuk Pembayaran Utang Jangka Panjang.
(c) Ekuitas Dana Cadangan
Ekuitas Dana Cadangan mencerminkan kekayaan bersih pemerintah daerah yang tertanam dalam Dana Cadangan. Dengan demikian jumlah yang disajikan di neraca adalah sebesar jumlah Dana Cadangan. Pengaturan dalam SAP sama dengan Kepmendagri 29/2002.
Dengan memperhatikan susunan akun ekuitas tersebut maka untuk keperluan penyusunan neraca, pos-pos ekuitas tidak perlu dilakukan pemetaan (mapping) tetapi langsung disusun sebagai pasangan akun-akun aset dan kewajiban.

c. Laporan Arus Kas

1) Struktur Laporan Arus Kas

Laporan Arus Kas di dalam Kepmendagri 29/2002 disebut Laporan Aliran Kas. Laporan Arus Kas menyajikan informasi arus masuk/keluar kas ke/dari pemerintah daerah berikut saldo kas selama satu suatu peride tertentu. Dengan demikian dalam Laporan Arus kas ini tidak hanya disajikan keluar masuknya uang kdari/ke kas daerah tetapi juga mencakup kas yang sudah diterima oleh para bendahara penerimaan.
SAP mengelompokkan Arus Kas menjadi empat, yaitu arus kas dari:
· Aktivitas Operasi;
· Aktivitas Investasi Nonkeuangan;
· Aktivitas Pembiayaan; dan
· Aktivitas Non-anggaran.
Perbedaan yang terjadi dengan Kepmendagri 29/2002 adalah pada aktivitas non-anggaran, yaitu yang digunakan untuk menyajikan arus masuk/keluar uang ke/dari kas daerah tetapi bukan hak pemerintah daerah yang bersangkutan, sehingga arus kas ini sering disebut arus kas transito.
Mapping Pos-pos Laporan Arus Kas dari Kepmendagri 29/2002 ke SAP dapat dilihat pada Skema X.

Dari cakupan arus kas tersebut dapat dilihat bahwa terdapat arus kas yang belum disajikan dalam Laporan Arus Kas Kepmendagri 29/2002 yaitu Arus Kas dari Aktivitas Non Anggaran.

2) Arus Kas dari Aktivitas Operasi

SAP dan Kepmendagri 29/2002 sama-sama mengatur pelaporan arus kas dari aktivitas operasi. Pada dasarnya bagian ini menyajikan arus kas yang berasal dari aktivitas operasi pemerintah daerah. Dengan demikian yang disajikan adalah pendapatan operasi dan belanja operasi.
Pendapatan operasi berasal dari Pendapatan Asli Daerah, Pendapatan Transfer dari Pemerintah Pusat maupun dari Pemerintah Daerah lainnya, Pendapatan Dana Darurat, dan Lain-lain Pendapatan yang Sah. Secara garis besar ketentuan di SAP dan Kepmendagri 29/2002 sama. Namun demikian apabila diteliti isi dari setiap sumber pendapatan terdapat pendapatan-pendapatan tertentu yang tidak masuk dalam kelompok pendapatan operasi.
Pendapatan yang perlu direklasifikasi adalah pendapatan yang berasal dari hasil penjualan aset tetap, baik yang berasal dari penjualan tunai maupun penjualan angsuran, merupakan arus kas masuk yang berasal dari aktivitas investasi nonkeuangan.
Arus keluar kas untuk aktivitas operasi mencakup seluruh pengeluaran kas untuk keperluan operasional pemerintahan. Berdasarkan SAP, pengeluaran ini mencakup belanja pegawai, belanja barang, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja tak terduga, dan belanja bagi hasil. Sesuai dengan klasifikasi biaya dalam Kepmendagri 29/2002 maka arus keluar kas untuk aktivitas operasi juga diklasifikasikan ke dalam Belanja Administrasi Umum, Belanja Operasi dan Pemeliharaan, Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan, dan Belanja Tak Tersangka.
Sejalan dengan penyajian Laporan Realisasi Anggaran maka arus kas untuk keperluan aktivitas operasi ini juga direklasifikasi ke dalam klasifikasi belanja berdasarkan SAP dengan pola sebagaimana diuraikan dalam klasifikasi belanja terdahulu.
Dalam rangka manajemen kas, Bendahara Umum Daerah dapat melakukan penanaman terhadap saldo kas yang menganggur untuk sementara waktu dalam bentuk investasi jangka pendek, seperti deposito yang jangka waktunya kurang dari satu tahun dan pembelian Surat Utang Negara. Berhubung keluar masuknya uang ini terjadi dalam rangka pelaksanaan kegiatan operasional pemerintah maka arus kas ini juga disajikan dalam kelompok arus kas dari aktivitas operasi. Sebagai contoh terdapat pengeluaran uang dari rekening Kas Umum Daerah yang ditanamkan dalam Deposito berjangka 6 bulan sebesar Rp 10 milyar. Pengaluaran ini disajikan sebagai arus keluar kas dari aktivitas operasi. Sebaliknya, misalnya terdapat pencairan deposito berjangka 6 bulan sebesar Rp 5 milyar, maka pencairan ini disajikan dalam arus masuk kas dari aktvitas operasi.

3) Arus Kas dari Investasi Non Keuangan

Arus kas dari Aktivitas Investasi Nonkeuangan yang dimaksud di sini adalah hanya arus kas dari investasi non keuangan, yaitu investasi dalam aset tetap dan/atau aset lainnya. Investasi dalam aset yang termasuk dalam Investasi Jangka Panjang tidak dimasukkan dalam aktivitas investasi melainkan dalam aktivitas pembiayaan.
Kepmendagri 29/2002 mengatur bahwa arus kas untuk perolehan/penjualan aset tetap maupun penyertaan modal dimasukkan dalam aktivitas investasi. Dengan memperhatikan ketentuan tersebut maka arus kas dari aktivitas investasi berdasarkan Kepmendagri 29/2002 perlu direklasifikasi. Arus kas yang berasal dari penyertaan modal pemda dikeluarkan dari aktivitas investasi dan dipindahkan ke aktivitas pembiayaan.
Disamping itu juga perlu diingat, sebagaimana diuraikan pada arus kas dari aktivitas operasi bahwa penerimaan kas yang berasal dari hasil penjualan aset tetap dimasukkan dalam arus kas dari aktivitas investasi.
Selanjutnya dalam rangka menjaga kontrol hubungan antar akun, rincian arus masuk dan arus keluar kas dalam aktivitas investasi disajikan sesuai dengan urutan penyajian aset tetap di neraca. Oleh karena itu penyajian arus kas ini perlu dirinci ke dalam arus masuk/arus keluar untuk Tanah, Gedung dan Bangunan, Peralatan dan Mesin, Jalan, Irigasi, dan jaringan, dan Aset Tetap Lainnya.

4) Arus Kas dari Aktivitas Pembiayaan

Arus kas dari Aktivitas Pembiayaan mencakup seluruh penerimaan dan pengeluaran kas dari aktivitas pembiayaan. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau setiap pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya, yang dalam penganggaran pemerintah terutama dimaksudkan untuk menutup defisit atau memanfaatkan surplus anggaran.
Dengan memperhatikan pengertian pembiayaan tersebut maka tampak bahwa terdapat arus masuk kas dan arus keluar kas dalam Kepmendagri 29/2002 yang belum sesuai dengan SAP, yaitu:
· Penerimaan pajak tahun lalu
· Pembayaran utang pajak/biaya tahun lalu
Jika penerimaan dari piutang pajak atau pembayaran utang tersebut terjadi karena sistem penerimaan yang diatur pemerintah, merupakan transaksi yang normal terjadi, dan bersifat berulang maka disajikan sebagai pendapatan pada tahun terjadinya penerimaan. Dengan demikian dimasukkan dalam kelompok aktivitas operasi. Sebagai contoh: Pendapatan pajak hotel yang berasal dari penetapan tahun berjalan Rp 10 juta, penerimaan piutang pajak hotel tahun lalu Rp 1 juta, maka kedua jumlah tersebut disajikan dalam Pendapatan Pajak Daerah di kelompok Aktivitas Operasi.
Pembayaran biaya tahun lalu juga merupakan arus kas aktivitas operasi, sepanjang untuk pembayaran belanja operasi. Jika pengeluaran tersebut untuk pembayaran belanja modal maka pengeluaran tersebut diklasifikasikan ke dalam kelompok arus kas dari aktivitas investasi. Perlakuan demikian dilakukan jika substansi transaksi yang menimbulkan utang belanja tersebut bukan karena untuk menutup defisit anggaran.
Pembayaran utang pajak tahun lalu dalam Kepmendagri 29/2002 dapat diasumsikan sebagai pembayaran utang atas pungutan PPh/PPN/lainnya, yang di lingkungan pemerintah disebut sebagai uang perhitungan pihak ketiga (PFK), yang telah dilakukan oleh Pemda tetapi sampai dengan berakhirnya tahun anggaran belum disetor ke Kas Negara. Pungutan dan penyetoran uang PFK ini bukan sebagai aktivitas pembiayaan tetapi aktivitas nonanggaran karena tidak menambah atau mengurangi APBD. Oleh karena itu apabila Pemda telanjur mengelompokkan penerimaan dan pungutan PFK ini dalam aktivitas pembiayaan perlu melakukan reklasifikasi, memindahkannya ke aktivitas nonanggaran.

5) Arus Kas dari Aktivitas Nonanggaran

Arus kas ini ditujukan untuk menyajikan arus masuk kas ke Kas Daerah dan arus keluar kas dari Kas Daerah yang bukan merupakan transaksi APBD. Arus kas non anggaran ini belum diatur dalam Kepmendagri 29/2002, Sedangkan berdasarkan SAP, Arus kas dari aktivitas non anggaran.
Yang dimasukkan dalam arus masuk kas di sini adalah penerimaan kas untuk Perhitungan Fihak Ketiga (PFK). Demikian pula arus keluar kas di sini juga untuk menyajikan pengeluaran kas untuk penyetoran PFK kepada pihak lain yang berhak. Yang termasuk dalam PFK antara lain pungutan PPh, PPN, Taspen, Askes, Taperum, dan pungutan lainnya yang harus disetorkan kepada pihak ketiga yang berhak. Penyajian PFK dapat diperoleh dari pencatatan penerimaan dan pengeluaran yang di lingkungan pemerintah daerah lebih dikenal dengan istilah Urusan Kas dan Perhitungan (UKP).

6) Saldo kas

Kepmendagri 29/2002 dan SAP sama-sama memasukkan saldo kas pada awal maupun akhir tahun. Namun demikian yang dimasukkan dalam saldo akhir kas berdasarkan Kepmendagri 29/2002 baru berupa saldo kas di Kas Daerah. Sedangkan berdasarkan SAP, saldo kas yang disajikan di Laporan Arus Kas mencakup saldo kas di Kas Daerah, saldo kas di Bendahara Pengeluaran, dan saldo kas di Bendahara Penerimaan. Oleh karena itu saldo kas di Bendahara Pengeluaran (sisa uang muka) dan saldo kas di tangan Bendahara Penerimaan (penerimaan pendapatan yang belum disetor ke rekening Kas Umum Daerah) dimasukkan dalam penyajian saldo akhir dalam Laporan Arus Kas.

d. Catatan atas Laporan Keuangan

Catatan atas Laporan Keuangan merupakan komponen laporan keuangan yang baru yang kedudukannya menggantikan Nota Perhitungan Anggaran. Catatan atas Laporan Keuangan sebagaimana diatur dalam PSAP No. 04 belum memperoleh porsi pengaturan secara cukup dalam Kepmendagri 29/2002. Oleh karena itu penyusunan Catatan atas Laporan Keuangan dapat langsung mengacu kepada PSAP No. 04 sedangkan materi dari Nota Perhitungan Anggaran digunakan sebagai salah satu bahan dalam penyusunan catatan ini. Informasi penting yang disajikan antara lain informasi umum, kebijakan akuntansi, penjelasan pos-pos laporan keuangan, pengungkapan lainnya, dan informasi tambahan yang diperlukan. Selanjutnya ilustrasi gambaran penyajian Catatan atas Laporan Keuangan juga dapat dilihat pada PP No. 8/2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.


sumber: http://www.bppk.depkeu.go.id/



Read more

KEBIJAKAN AKUNTANSI YANG PENTING

Kebijakan akuntansi yang digunakan oleh suatu pemerintah daerah perlu diperhatikan kesesuaiannya dengan SAP. Identifikasi ini sangat menentukan penyesuaian yang harus dilaksanakan. Berikut ini beberapa kebijakan akuntansi penting yang seringkali belum sepenuhnya sesuai dengan SAP.
1. Pengakuan Pendapatan dan Belanja

SAP menggunakan basis kas untuk pengakuan pendapatan dan belanja. Pendapatan diakui setelah penerimaan uang disetor ke Rekening Kas Umum Daerah. Belanja diakui setelah uang dikeluarkan secara definitif dari Rekening Kas Umum Daerah dan/atau telah dipertanggung-jawabkan. Kepmendagri No, 29/2002 menyatakan bahwa basis akuntansi yang digunakan untuk mengakui pendapatan dan belanja adalah basis kas modifikasian.

Menurut Granof, dalam basis kas modifikasian, akun pendapatan dan belanja dibuka dalam beberapa waktu setelah tutup tahun anggaran. Pendapatan yang diterima dalam kurun waktu yang ditetapkan diakui sebagai pendapatan dan belanja yang dibayar selama jangka waktu yang ditetapkan masih diakui sebagai belanja pada tahun anggaran tersebut. Dengan demikian maka sistem akuntansi akan menghasilkan Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Arus Kas, dan Neraca yang hanya memuat pos kas serta piutang dan utang yang berasal dari kegiatan operasi pemerintahan.

Pemerintah daerah perlu memperhati-kan basis pengakuan pendapatan dan belanja yang digunakan dalam APBD masing-masing. Apabila Pemda telah menggunakan basis kas modifikasian, maka besarnya pendapatan dan belanja yang berasal dari selisih yang terjadi karena penggunaan basis yang berbeda tersebut dieliminasi.

SAP belum mengakui kas yang berada di tangan Bendahara Penerimaan per 31 Desember sebagai pendapatan karena belum belum disetor ke Rekening Kas Umum Daerah. Demikian pula halnya dengan pengakuan belanja, belanja diakui pada saat terjadinya pengeluaran definitif dari Rekening Kas Umum Daerah. Pembayaran yang dilakukan secara langsung kepada pihak ketiga (SPMU LS atau BT) diakui sebagai belanja pada saat dikeluarkan uang dari rekening Kas Umum Daerah. Pembayaran melalui uang muka kerja atau dana kas kecil (SPMU BS, SPM PK atau SPM UP) yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran/Pemegang Kas merupakan uang muka kerja atau dana kas kecil di satuan kerja perangkat daerah. Jumlah tersebut baru diakui sebagai belanja setelah dipertanggungjawabkan ke satuan kerja pengelola keuangan daerah. Saldo kas yang berasal dari sisa uang muka kerja, yang berada di Bendahara Pengeluaran/Pemegang Kas merupakan aset pemerintah daerah dan disajikan pada akun Kas di Bendahara Pembayar di neraca pemerintah daerah.
2. Pengakuan Aset

Kepmendagri No. 29/2002 mengatur bahwa pengakuan aset dilakukan pada akhir periode. Sementara SAP menyatakan bahwa aset diakui pada saat diterima dan/atau hak kepemilikan berpindah. Dengan demikian selama tahun berjalan terdapat perbedaan waktu pengakuan aset namun pada akhir periode akuntansi akan diperoleh saldo aset yang sama.
3. Pengakuan Kewajiban

Kepmendagri 29/2002 menyatakan bahwa utang diakui pada akhir periode. SAP menyatakan bahwa kewajiban diakui pada saat pinjaman diterima atau kewajiban timbul. Untuk meyakini bahwa seluruh utang sudah disajikan di neraca, pemerintah daerah dan setiap satuan kerja perangkat daerah perlu menginventarisasi utang-utang di unitnya masing-masing dan menyajikannya di neraca per 31 Desember .
4. Penilaian Aset

Dalam rangka penyusunan neraca awal, Kepmendagri 29/2002 mengatur bahwa Kepala Daerah dapat secara bertahap melakukan penilaian seluruh aset Daerah yang dilakukan oleh Lembaga Independen bersertifikat bidang pekerjaan penilaian aset dengan mengacu pada Pedoman penilaian Aset Daerah yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri. SAP mengatur bahwa aset dinilai berdasarkan harga perolehan. Ketentuan ini berlaku untuk transaksi yang terjadi setelah penyusunan neraca awal (neraca yang pertama kali disusun). Sedangkan untuk aset yang sudah dimiliki pada saat penyusunan neraca pertama kali (neraca awal) dinilai berdasarkan nilai wajar pada tanggal penyusunan neraca tersebut.

Untuk penyusunan neraca awal, KSAP telah menerbitkan Buletin Teknis No.2 tentang Penyusunan Neraca Awal Pemda. Dalam Buletin Teknis tersebut tersedia berbagai alternatif penilaian aset yang dapat dipilih oleh Pemda dalam penyusunan neraca awal. Oleh karena itu bagi Pemda yang belum menyajikan pos-pos neraca sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam SAP, yang selanjutnya diilustrasikan melalui Buletin Teknis tersebut dapat melakukan penyesuaian. Sebagai contoh: tanah dapat dinilai berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak, Bangunan dapat dinilai berdasarkan standar biaya yang disusun oleh Departemen Pekerjaan Umum.
Read more

PELAKSANAAN KONVERSI DALAM MASA TRANSISI


PP No. 24/2005 mengamanatkan penyusunan dan penyajian laporan keuangan tahun anggaran 2005 sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), sedangkan APBD masih disusun dan dilaksanakan berdasarkan Kepmendagri 29/2002, maka pemerintah daerah perlu menyusun strategi implementasi untuk penyajian laporan keuangan tahun anggaran 2005. Masa transisi ini akan berlangsung sejak diberlakukannya PP 24/2005 sampai dengan pemerintah telah mengembangkan sistem akuntansi dan mengimplementasikannya secara penuh sesuai dengan SAP. Pelaksanaan konversi ini telah diatur dalam Buletin Teknis No. 3 tahun 2006 tentang Penyajian Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Sesuai SAP. Untuk mengoperasionalkan buletin teknis tersebut perlu dituangkan dalam Peraturan Kepala Daerah.

Seringkali para pelaku pengelolaan keuangan di lingkungan pemerintahan mempunyai persepsi yang kurang tepat tentang akuntansi dan pelaporan keuangan. Ketentuan-ketentuan yang digunakan pada saat menyusun APBD tidak sama dengan kebijakan akuntansi dan pelaporan keuangan. Apabila struktur APBD dan ketentuan-ketentuan yang digunakan untuk penyusunan APBD berbeda dengan SAP maka akan menimbulkan permasalahan dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan karena yang dipertanggung-jawabkan pemerintah daerah adalah pelaksanaan APBD, sehingga seharusnya berlaku budgetary accounting. Dengan demikian dituntut adanya struktur anggaran dan ketentuan yang sama mulai dari penganggaran, pelaksanaan, sampai dengan pertanggungjawabannya. Selama hal ini belum dipenuhi, proses konversi penyajian laporan keuangan akan terus berlangsung.

Pelaksanaan konversi dilakukan dengan terlebih dahulu menyusun lembar muka (face) laporan keuangan menurut Kepmendagri No. 29/2002 yang terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Laporan Arus Kas. Konversi dilakukan dengan menggunakan kertas kerja yang menggambarkan proses konversi dari laporan keuangan berdasarkan Kepmendagri 29/2002 ke laporan keuangan berdasarkan SAP.

Konversi untuk Laporan Realisasi Anggaran dilaksanakan baik untuk anggaran maupun realisasinya. Proses konversi ini disajikan dalam Catatan atas Laporan Keuangan. Kertas kerja konversi disajikan sebagai lampiran laporan keuangan sesuai dengan SAP.

Secara garis besar langkah-langkah konversi yang diatur dalam Bultek tersebut adalah sebagai berikut:

1. Penyajian laporan keuangan dalam masa transisi dapat dilakukan dengan teknik memetakan atau konversi ketentuan-ketentuan di Kepmendagri No. 29/2002 ke dalam ketentuan-ketentuan SAP. Konversi mencakup jenis laporan, basis akuntansi, pengakuan, pengukuran, dan pengungkapan pos-pos laporan keuangan, struktur APBD, klasifikasi anggaran, aset, kewajiban, ekuitas, arus kas, serta catatan atas laporan keuangan.

2. Penelusuran pos-pos laporan keuangan. Penelusuran pos-pos ini dapat dilakukan secara berjenjang, dari membandingkan pos-pos yang disajikan dalam laporan keuangan/buku besar/buku pembantu. Apabila sampai dengan buku pembantu belum dapat ditelusuri maka diteruskan ke dokumen sumber.

3. Penelusuran setiap pos/buku besar/buku pembantu tersebut dituangkan dalam suatu kertas kerja yang memungkinkan untuk dilaksanakan pelacakan asal-muasal suatu jumlah yang disajikan dalam laporan keuangan sesuai SAP.

Konversi dilakukan dengan cara menelusuri atau mentrasir kembali (trace back) sebagai berikut:

1. Pos-pos laporan keuangan menurut Kepmendagri No. 29/2002 dengan pos-pos laporan keuangan menurut SAP;

2. Apabila angka 1 belum menyelesaikan konversi, maka konversi buku besar/pos/rekening menurut Kepmendagri No. 29/2002 ke buku besar menurut SAP, dengan memperhatikan cakupan masing-masing buku besar;

3. Apabila angka 2 belum menyelesaikan konversi, maka lakukan konversi dari buku pembantu/rekening menurut Kepmendagri No. 29/2002 ke buku besar menurut SAP;

4. Apabila angka 3 belum menyelesaikan konversi, maka lakukan konversi buku jurnal atau dokumen sumber ke buku besar menurut SAP.

Read more

PENYUSUNAN LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MASA TRANSISI

JURNAL AKUNTANSI PEMERINTAH

Vol. 2, No. 1, Mei 2006

Hal 19 - 52

Vino Satria Hidayat

Abstraksi

Pemerintah mempunyai kekuasaan untuk memungut pendapatan dari publik dan wajib menggunakanya untuk membiayai penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dalam rangka pelayanan kepada publik. Pemerintah wajib mempertanggungjawabkan atas pengelolaan keuangan dimaksud secara akuntabel dan transparan. Dalam rangka membangun akuntabilitas dan transparansi, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan PP No. 24/2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan dan PP No. 8/2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah yang berlaku untuk Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah. Pada saat ketentuan perundang-undangan ini diberlakukan pemerintah daerah masih menyusun dan melaksanakan APBD sesuai dengan Kepmendagri No. 29/2002 tentang Pedoman Penyusunan Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Oleh karena itu implementasi ketentuan dimaksud dalam Travel Mate 370 Page 19 05/05/2008teknik konversi dari Laporan Keuangan versi Kepmendagri No. 29/2002 ke versi SAP.

Kata-kata kunci: Laporan Keuangan Pemerintah Daerah, Akuntabilitas, Transparansi, Standar Akuntansi Pemerintahan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

*) Sumiyati, Ak. MFM saat ini bekerja pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Departemen Keuangan dan ditunjuk sebagai anggota Kelompok Kerja Komite Standar Akuntansi Pemerintahan


PERTANGGUNGJAWABAN ATAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

Penyelenggaraan pemerintahan yang baik merupakan suatu tuntutan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Kepemerintahan yang baik antara lain ditandai dengan adanya pemerintah yang akuntabel dan transparan. Untuk mewujudkan hal tersebut, Pemerintah Indonesia terus-menerus melakukan berbagai upaya pembaharuan dalam pengelolaan keuangan, antara lain penyusunan peraturan perundang-undangan, penataan kelemba-gaan, pembenahan sistem dan prosedur, dan peningkatan profesionalisme sumber daya manusia di bidang keuangan.

Pembaharuan di bidang keuangan mencakup berbagai aspek, yaitu perencanaan dan penganggaran, perbendaharaan, akuntansi dan pertanggungjawaban, dan auditing. Semua aspek tersebut diperbarui secara bertahap dan berkelanjutan disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi Pemerintah Indonesia.

Berdasarkan Pasal 6 Undang-undang No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, kewenangan pengelolaan keuangan daerah diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota. Sejalan dengan semangat otonomi daerah dan desentralisasi fiskal sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah maka daerah mempunyai kewenangan untuk mengelola keuangannya sendiri. Dengan demikian pemerintah daerah berhak untuk merencanakan, melaksanakan, dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan APBD ke DPRD masing-masing.

Pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan daerah diatur dalam Undang-undang No. 17/2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-undang No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Laporan keuangan dimaksud mencakup:

1. Neraca;

2. Laporan Realisasi Anggaran;

3. Laporan Arus Kas; dan

4. Catatan atas Laporan Keuangan.

Laporan Realisasi Anggaran tidak hanya menyajikan perbandingan antara realisasi terhadap anggarannya tetapi juga menyajikan prestasi kerja (kinerja) yang dicapai. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa penyusunan dan penyajian laporan keuangan dilaksanakan berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan. Standar Akuntansi Pemerintahan telah diatur dengan PP No. 24/2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Pelaporan keuangan dan kinerja ini lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 8/2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.

Implementasi SAP di lingkungan pemerintah tidaklah mudah, demikian pula yang terjadi di pemerintah daerah. Selain kesiapan pemerintah daerah yang masih kurang juga disebabkan adanya peraturan di tingkat operasional.yang mengatur pelaporan keuangan yang belum sepenuhnya sesuai SAP. Di lingkungan Pemerintah Pusat, penyusunan dan penyajian laporan keuangan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sedangkan untuk pemerintah daerah diatur dengan peraturan daerah. Selama ini pengelolaan keuangan daerah didasarkan pada PP No. 105/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, yang lebih lanjut diatur dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri. Dewasa ini pada umumnya pengelolaan keuangan daerah didasarkan pada Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29/2002 tentang Pedoman Penyusunan Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Tata cara penyusunan dan pertanggungjawaban APBD dalam ketentuan tersebut belum sepenuhnya sesuai dengan SAP.

Dalam tataran operasional ternyata sampai dengan tahun anggaran 2005 masih ada pemerintah daerah yang belum menyusun dan menyajikan laporan keuangan sesuai dengan Kepmendagri tersebut tetapi masih menerapkan ketentuan yang sebelumnya, yaitu SK Mendagri No. 900/099 tanggal 2 April 1980 tentang Manual Keuangan Daerah. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dewasa ini pemerintah daerah berada dalam masa transisi. Berhubung penyajian laporan keuangan mulai tahun 2005 sudah wajib menerapkan SAP sementara APBD masih diusun dan dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang lain maka perlu adanya proses konversi selama masa transisi.

Proses konversi hendaknya dilaksanakan secara hati-hati. Dalam hal ini perbedaan antara APBD dan SAP dapat saja terjadi tidak hanya dalam struktur anggaran ataupun klasifikasi pos-pos aset, kewajiban, dan ekuitas dana tetapi ada hal yang lebih penting lagi yaitu kebijakan yang terkait dengan pengertian, ruang lingkup, pengakuan, pengukuran, dan pengungkapan setiap pos laporan keuangan. Dalam rangka memfasilitasi pemerintah daerah yang telah menyusun laporan keuangan berdasarkan Kepmendagri No. 29/2002 untuk dapat menyajikan laporan keuangan sesuai SAP, maka Komite Standar Akuntansi Pemerintah (KSAP) telah menyusun Buletin Teknis Konversi Penyajian Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Sesuai SAP. Bagi pemerintah daerah yang belum nenyusun laporan keuangan sesuai dengan Kepmendagri No. 29/2002 dapat langsung menyesuaikan ke SAP tanpa melalui konversi ke Kepmendagri 29/2002.

Read more
 

uLet.saGu Design by Insight © 2009