Apakah majemen keuangan itu? Dosen gue menyederhanakan: ‘manajemen keuangan adalah menarik piutang secepat mungkin dan membayar hutang selambat mungkin’. Penjelasannya sangat panjang … diam-diam kami menerima pernyataan singkat tersebut.
Piutang dan hutang merupakan hak dan kewajiban, sebagai akibat ‘kelakuan’ di masa lalu. Ini berlaku universal. Bagaimana dengan manajemen keuangan daerah? ‘Idem dito’. UU 17/2003 menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. UU 1/2004 menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara menimbulkan hak dan kewajiban negara yang perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara.
UU 17/2003 dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebut dapat dicapai dengan menerapkan kaidah-kaidah: akuntabilitas berorientasi pada hasil; profesionalitas; proporsionalitas; keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara; pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri. Sedangkan UU 1/2004 dimaksudkan (salah satunya) sebagai penyelenggaraan sistem informasi manajemen keuangan negara/daerah. Lebih khusus, manajemen keuangan yang dimaksudkan undang-undang ini adalah APBN/APBD.
APBD merupakan rencana arus kas tahunan pemerintah daerah (pemda) yang disetujui DPRD. Susunan arus kas tersebut merupakan konsekuensi dari adanya rencana aktivitas pemerintahan daerah. Aktivitas pemda adalah pelayanan kepada masyarakat (public service). Pelayanan kepada masyarakat menimbulkan adanya hak dan kewajiban. Agar supaya hak dan kewajiban tersebut merupakan representasi pelayanan kepada masyarakat, maka perlu dibingkai dengan prinsip-prinsip good governance berupa partisipasi, transparansi dan akuntabilitas.
Pertanyaannya adalah: bagaimana mengaktualisasikan prinsip-prinsip tersebut dalam bentuk APBD?
~!@#$%^&*()_+
Produk hukum APBD berupa peraturan daerah (perda) dan peraturan kepala daerah. Perda APBD merupakan hasil proses politik antara legislatif dengan eksekutif. Peraturan kepala daerah tentang APBD lebih tepat diposisikan sebagai hak eksekutif, karena merupakan pedoman bagi pelaksana anggaran.
Agar supaya berfungsi secara optimal, maka diperlukan kesepahaman semua pihak dengan cara memformulasikan struktur APBD secara tepat. Ini sangat berbeda dengan apa yang (harus) dilakukan sekarang. Peraturan daerah dan peraturan kepala daerah tentang APBD tertuang per kode rekening. Sekedar pembanding, berikut merupakan struktur APBD menurut Kepmendagri 29/2002 dan Permendagri 13/2006.
Bagan 1.1
Struktur APBD menurut Kepmendagri 29/2002
(Perda & Peraturan Kepda)[1]
Pendapatan • PAD • Dana Perimbangan • Lain-lain Pendapatan yang Sah |
xxx xxx xxx |
Jumlah Pendapatan | xxx |
Belanja Aparatur • Belanja Administrasi Umum • Belanja Operasi & Pemeliharaan • Belanja Modal |
xxx xxx xxx |
Belanja Publik • Belanja Administrasi Umum • Belanja Operasi & Pemeliharaan • Belanja Modal • Belanja Bantuan Keuangan • Belanja Tidak Tersangka |
xxx xxx xxx xxx |
Jumlah Belanja | xxx |
Surplus (Defisit) = Jumlah Pendapatan – Jumlah Belanja | (xxx) |
Pembiayaan • Pembiayaan Penerimaan • Pembiayaan Pengeluaran |
xxx xxx |
Pembiayaan Netto | xxx |
Struktur APBD tersebut mengundang kontroversi diantara penyelenggara pemerintahan daerah. Dalam praktik, justifikasi daerah terhadap pengertian aparatur dan publik dapat berbeda-beda. Berikut merupakan justifikasi yang diberikan daerah-daerah:
Tabel 1.1
Justifikasi Belanja Aparatur dan Publik
Pemda | Dasar Pembeda | Aparatur | Publik |
A | Jenis Belanja | Belanja pegawai | Belanja non pegawai |
B | Bentuk Satuan Kerja | Sekretariat Daerah, Badan, Kantor | DPRD dan dinas – dinas |
C | Unit Kerja | Bagian tata usaha | Bagian lainnya |
D | Manfaat bagi Masyarakat | Layanan tidak langsung | Layanan langsung |
E | Output | Fisik untuk pemda dan non fisik | Fisik untuk masyarakat |
Lebih lanjut, klasifikasi belanja aparatur dan publik mengaburkan orientasi laporan keuangan (Bastian, 2004). Bagaimana mungkin membandingkan APBD antar daerah jika justifikasi aparatur dan publik berbeda-beda? Bagaimana mungkin mengatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah A lebih baik dibanding dengan daerah lain? Banyak sekali pertanyaan yang dapat diajukan mengenai hal ini. Oleh karenanya, klasifikasi belanja aparatur dan publik direvisi melalui Permendagri 13/2006 sebagaimana berikut ini.
Bagan 1.2
Struktur APBD menurut Permendagri 13/2006
(Perda & Peraturan Kepda)
Urusan Wajib/Pilihan |
|
Pendapatan • PAD • Dana Perimbangan • Lain-lain Pendapatan yang Sah |
xxx xxx xxx |
Jumlah Pendapatan | xxx |
Belanja Tidak Langsung • Belanja Pegawai • Belanja Bunga • Belanja Subsidi • Belanja Bantuan Sosial • Belanja Bagi hasil • Belanja Bantuan Keuangan • Belanja Tidak Terduga |
xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx |
Belanja Langsung • Belanja Pegawai • Belanja Barang & Jasa • Belanja Modal |
xxx xxx xxx |
Jumlah Belanja | xxx |
Surplus (Defisit) = Jumlah Pendapatan – Jumlah Belanja | (xxx) |
Pembiayaan • Pembiayaan Penerimaan • Pembiayaan Pengeluaran |
xxx xxx |
Pembiayaan Netto | xxx |
Dengan lahirnya Permendagri 13/2006, masalah aparatur dan publik memang teratasi. Akan tetapi, struktur APBD baru tersebut dapat mengundang kontroversi lain:
1. Bias klasifikasi urusan wajib dan pilihan.
Adanya klasifikasi belanja menurut urusan pemerintahan merupakan break down UU 32/2004 yang menegaskan adanya pembagian urusan pemerintahan. Akan tetapi, pembedaan urusan wajib dan pilihan dapat dipersepsikan secara tidak tepat. Seolah-olah klasifikasi urusan pilihan boleh tidak dilakukan daerah. Apakah porsi anggaran untuk urusan wajib, berkorelasi positif dengan terpenuhinya kebutuhan masyarakat daerah tersebut? Bagaimana mungkin urusan pertanian merupakan urusan pilihan, sedangkan negeri ini adalah negeri agraris? Bagaimana mungkin urusan kelautan dan perikanan merupakan urusan pilihan, sedangkan negeri ini merupakan negeri kepulauan?
2. Bias tanggungjawab satuan kerja.
Setiap dinas hanya menangani 1 (satu) urusan ataukah banyak urusan? Jika setiap dinas diasumsikan hanya menangani satu urusan, (di atas kertas) dimungkinkan ada urusan yang tidak tertangani. Sudut pandang ini kontra produktif dengan prinsip akuntabilitas. Kondisi sebaliknya, jika setiap dinas diasumsikan menangani banyak urusan, dimungkinkan penyelesaian tanggungjawab menjadi tidak fokus dan kontradiktif dengan pembentukan satuan organisasi.
3. Penyeragaman program dan kegiatan.
Setiap daerah memiliki kebijakan umum dan strategi/prioritas yang berbeda. Penyeragaman program dan kegiatan dapat dipersepsikan bahwa kebutuhan tiap daerah adalah sama. Hal ini kontra produktif dengan kerangka otonomi daerah.
Adakah masyarakat yang peduli dengan berbagai kontroversi tersebut? gue yakin tidak! Masyarakat tidak membutuhkan informasi seperti ini. Formulasi yang lebih tepat dapat ditelusuri melalui skema berikut:
Gambar 1.1
Good Governance: Penganggaran – Pelaksanaan – Pertanggung-jawaban |
Regulasi |
| Muatan |
| Formulasi |
Undang-undang |
| Norma Umum |
| Konsep Dasar |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Peraturan Pemerintah |
| Norma Pelaksanaan |
| Prinsip-prinsip |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Peraturan Daerah |
| Norma Operasional |
| Per Program /Kegiatan |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Peraturan Kepala Daerah |
| Norma Teknis |
| Per Kode Rekening |
Dengan meruntut pada skema tersebut, maka struktur APBD berupa Perda dan Peraturan Kepala Daerah akan menjadi sebagai berikut:
Bagan 1.3
Struktur APBD (Perda)
Urusan |
|
Pendapatan • PAD • Dana Perimbangan • Lain-lain Pendapatan yang Sah |
xxx xxx xxx |
Jumlah Pendapatan | xxx |
Belanja Tetap • Belanja Pegawai • Belanja Bunga |
xxx xxx |
Belanja Tidak Tetap • Belanja Program/Kegiatan • Belanja Subsidi • Belanja Bagi hasil • Belanja Bantuan Keuangan • Belanja Tidak Terduga |
xxx xxx xxx xxx xxx |
Jumlah Belanja | xxx |
Surplus (Defisit) = Jumlah Pendapatan – Jumlah Belanja | (xxx) |
Pembiayaan • Pembiayaan Penerimaan • Pembiayaan Pengeluaran |
xxx xxx |
Pembiayaan Netto | xxx |
Catatan: Peraturan Kepala Daerah menjabarkan lebih lanjut rekening-rekening tersebut dalam Perda di atas.
Struktur tersebut menunjukkan pada kita, bahwa APBD merupakan representasi kontrak sosial antara kepala daerah dengan masyarakat. Formulasi kontrak sosial ke dalam struktur APBD akan mengeliminasi berbagai perdebatan yang terjadi. Formulasi ini akan menegaskan pandangan yang tepat. Pertama, bahwa usulan APBD merupakan visi dan misi kepala daerah terpilih. Kedua, persetujuan DPRD merepresentasikan persetujuan masyarakat (bukan partai). Ketiga, formulasi APBD merupakan (salah satu) bentuk akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan daerah.
Dengan sudut pandang tersebut, tercipta hubungan keagenan antara kedua pihak: kepala daerah (beserta birokrasi) merupakan agen, sedangkan DPRD merupakan principal. Untuk menjembatani keduanya, diperlukan pihak independen, yaitu auditor. Pemahaman posisi masing-masing terhadap APBD, akan memberikan kontribusi positif berupa:
1. Kejelasan arah pembahasan antara legislatif dengan eksekutif tentang pembagian kue pembangunan.
2. Menegaskan struktur dan muatan informasi yang tersaji dalam APBD.
3. Peran strategis pengelola keuangan daerah dapat dioptimalkan.
4. Peran strategis auditor intern dapat dioptimalkan.
5. Peran auditor inten tidak bias dengan auditor ekstern.
jgn lupa komen yaah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar